Advertisements

 OTDANEWS.COM, Jakarta – Pakar pendayagunaan gambut Balai Penelitian Pertanian Tanah Rawa Muhammad Noor mengatakan, hasil survei menunjukkan tidak ada perbedaan tingkat keasaman antara lahan terbakar dan tidak terbakar pada area milik PT SPS di Kabupaten Nagan Raya, Aceh.

“Hasil survei menunjukkan tingkat keasaman (PH) tanah/gambut (fresh) PT SPS antara 4,0-4,7, dan tidak ada perbedaan PH yang nyata antara lahan yang terbakar dan tidak terbakar,” kata Muhammad Noor dalam media gathering penjelasan kebakaran lahan pada Kab Nagan Raya di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, hal tersebut menunjukkan bahwa kebakaran lahan gambut yang terjadi di Kabupaten Nagan Raya, Aceh, tidak sempurna. Kedalaman lahan gambut yang terbakar tidak ada data karena survei tidak ditujukan untuk mengamati hal tersebut.

“Namun, dari foto yang diambil di 29 titik tidak terlihat abu yang tebal seperti foto kebakaran lahan di kalimantan Selatan pada 1997,” kata dia.

Menurut Prof Azwar Maas, lanjutnya, Guru Besar Fakultas Pertanian UGM, pembakaran sebanyak satu m3 (lebar satu meter, panjang satu meter, dan dalam atau tebal satu meter) lahan gambut murni tanpa campuran mineral hanya menghasilkan 5 kg abu yang setara dengan 5 kg kapur maupun dolomit.

Jadi pengaruh kebakaran atau pembakaran terhadap PH sangat kecil. PH tanah ideal untuk tanaman kelapa sawit adalah 5 hingga 6.

Ia menjelaskan untuk meningkatkan PH (karena PH tanah pada lahan tersebut 4,0-4,7), diperlukan pemberian kapur pertanian (kaptan) atau dolomit. Kapur yang diperlukan sebanyak 0,5-5,0 ton/ha.

“Kapur tersebut lalu disebar untuk per pohon dapat dikonversi dengan jumlah populasi per hektar,” ujar dia.

Namun, pemberian kaptan bukan untuk meningkatkan sampai pH 6,0 karena dapat menimbulkan dampat negatif (overliming) apabila dilakukan secara berlebihan seperti menimbulkan tidak tersedianya hara-hara seperti P, K dan lainnya. Kelebihan kapur juga dapat merusak sifat fisik gambut dan mempercepat dekomposisi.

Menurut dia, lahan yang terbakar tidak sampai menimbulkan abu yang tebal terbakar. Lahan yang tidak terbakar masih hijau karena tanaman masih hidup, sedang yang terbakar hanya hangus. Keadaan ini berbeda dengan lahan gambut Kalsel, yang terbakar sempurna pada 1997 (El Nino) sehingga menyisakan abu setebal 20-30 cm.

“Kebakaran lahan gambut atau cara bakar dalam pembukaan area di lahan gambut dapat menimbulkan beberapa kerugian. Pertama, hilangnya lapisan humus yang membuat tanah kehilangan kesuburan,” ujar dia.

Kedua, kata dia, berubahnya sifat hydrophilic (suka air) dari gambut menjadi hydrophobic (benci/anti air). Gambut yang kering hanya dapat menyerap air tinggal 50 persen dan tidak lagi dapat menyimpan hara dengan baik.

“Ketiga, terjadi amblasan (subsidence), yaitu penurunan muka tanah sehingga menyulitkan proses penyiapan lahan,” ujarnya.

Sebelumnya, Dekan Fakultas Kehutanan sekaligus Kepala Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo mengatakan kesengajaan pembakaran lahan gambut, bisa karena upaya penghematan biaya pembukaan lahan.

Hal tersebut terkait dengan kebakaran lahan gambut di Nagan Raya, Aceh pada Maret lalu.

“Kandungan asam tinggi pada gambut tidak menguntungkan untuk tanaman sawit. Hasil pembakaran berupa abu dan arang kayu mampu menurunkan kadar keasaman gambut tersebut sehingga makin menyuburkan lahan,” kata Bambang di Nagan Raya, Jumat (4/5).

Sesuai aturan, lanjut dia, semestinya penurunan keasaman gambut itu dengan kapur.

Data Walhi menunjukkan luas kawasan hutan di wilayah Tripa, Aceh pada 2011 lalu masih seluas 12.666 hektare, sementara data terakhir September 2012 lalu kawasan hutan tersebut tinggal seluas 10.521 hektare. (ANTARA)

Sumber :

http://www.otdanews.com

Advertisements

Artikel Terkait Lainnya

JAKARTA – Manajer Program Hukum dan Masyarakat Epistema Institute, Yance Arizona mengutarakan, eksistensi masyarakat adat sangat perlu diakui negara. Bahkan, tak cukup hanya pengakuan. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 dilapanagn faktanya masih banyak terjadi pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat. Yance menyatakan, kalau sebelumnya hutan adat adalah hutan negara, setelah putusan MK 35/2012, hutan adat adalah […]

Advertisements Medan – Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan proses eksekusi lahan sawit milik pengusaha DL Sitorus seluas 47 ribu ha di Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara, sudah selesai. Kejaksaan Agung sudah menyerahkan lahan tersebut kepada Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. “Perkara DL Sitorus menyangkut barang bukti seluas 47 ribu ha sudah diserahkan secara […]

KOTA KINABALU – Menteri Sains, Teknologi dan Inovasi, Datuk Ewon Ebin mengatakan, salah satu dari tiga proyek yang memanfaatkan minyak sawit atau biorefinery di Sabah dan Sarawak, telah disetujui oleh komite Bioeconomy Transformation Programme (BTP). Genting Plantations Berhad bakal berkolaborasi dengan Elevance Renewable Sciences, sebuah perusahaan kimia asal Amerika Serikat, untuk membangun biorefinery. Seperti tulis […]

Advertisements Amerika Serikat – Merujuk laporan Lembaga Swadaya Masyarakat Lingkungan dunia, Forest Heroes, menuding perusahaan sawit PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) bertaggung jawab terhadap kerusakan hutan tropis. Sebelumnya PT Astra Agro Lestari Tbk telah berjanji tidak bakal membangun perkebunan kelapa sawit di hutan tropis, tetapi Forest Heroes menganggap janji PT Astra Agro […]

HERSHEY – Perusahaan Hershey, April 2015 melaporkan hasil penggunaan bahan baku dari sumber minyak sawit berkelanjutan, yang didukung lewat kerjasama strategis dengan The Forest Trust (TFT). Tercatat Harshey, telah menggunakan minyak sawit berkelanjutan sebanyak 94% dari semua pabrik yang menggunakan minyak sawit secara global. Kabarya Harshey, sedang melakukan pemetaan rantai pasok hingga ke perkebunan, yang […]