Advertisements
Economic Analysis of Law pertama kali digagas oleh Posner. Analisis ini digunakan untuk mengetahui tingkat efisiensi kebijakan atau langkah-langkah hukum yang diambil dengan membandingkan antara langkah hukum yang satu dengan yang lain.
Terkait dengan LoI (terutama poin moratorium) harus dihitung untung rugi apakah tetap mengacu LoI atau melakukan negoisasi ulang. Jika kita tetap mengacu pada substansi LoI, maka keuntungan yang bisa didapat adalah komitmen pemberian dana maksimal US $ 1 milyar yang akan disalurkan mulai Januari 2014 sampai akhir 2016. Pemberian bantuan tidak otomatis 100 % diterima Indonesia karena tergantung dari pencapaian Indonesia dalam menjaga hutan. Di samping itu, jika kita berhasil dalam proyek ini, maka diharapkan akan meningkatkan minat negara atau perusahaan untuk membeli karbon yang diserap oleh hutan Indonesia. Harga produk-produk hutan Indonesia pun akan makin meningkat karena Indonesia sudah berhasil mengimplementasikan pengelolaan hutan lestari.
Sedangkan kerugian yang diderita akibat taat pada LoI yakni produksi sawit dan pertambangan menjadi terganggu, kegiatan pembangunan yang menggunakan kawasan hutan menjadi mandek, peningkatan pengangguran, berkurangnya pajak dan PNBP dari sektor yang direncanakan menggunakan hutan.
Dengan membandingkan secara sekilas tentang keuntungan dan kerugian, maka dapat dilihat bahwa Indonesia mengalami banyak kerugian akibat adanya poin moratorium perijinan yang diatur dalam LoI. Nilai konstribusi US $ 1 milyar tidak sebanding dengan kerugian akibat mandeknya pembangunan non kehutanan dan campur tangan asing dalam mengelola hutan Indonesia.
b. Potensi Konflik Hukum terhadap Moratorium izin dalam kawasan hutan
Permasalahan perizinan di dalam kawasan hutan tidak dapat hanya dilihat dari rencana saja sebagaimana yang tertuang di dalam LoI, tetapi permasalahan kawasan hutan di Indonesia adalah sudah berlangsung dalam waktu yang sangat panjang, yaitu mulai dikeluarkannya Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) pada tahun 1982 yang sampai saat ini tidak menjawab tentang adanya kepastian hukum atas kawasan hutan di Indonesia. Permasalahan kehutanan oleh pengelola hutan tidak disikapi secara bijak dengan memperhatikan kepentingan lain yang tumbuh dan berkembang. TGHK ini jelas mempertahankan status quo masalah kejelasan kawasan hutan. Pengelola hutan telah mengesampingkan stakeholders diluar sektor kehutanan dan cenderung tidak menganggap keberadaannya. Masyarakat sekitar hutan termarginalisasi, hak-hak adat terusir dari akarnya, sektor lain diluar kehutanan tidak pernah dihargai bahwa ia bagian dari stakeholders yang harus diperhatikan. Asumsi yang digunakan oleh pengelola hutan adalah mempertahankan luasan kawasan hutan, sedangkan kawasan hutan di Indonesia adalah hasil ”penunjukan” yang hanya dibuat di atas peta dan sampai saat ini baru 12 % kawasan hutan akibat penunjukan hutan yang menyimpang. Pengelola hutan hanya selalu mendasarkan pada luasan hutan melalui Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun 1982 yang dipertanyakan kebenarannya di lapangan. Pemerintah dan Pemerintah Daerah belum terjadi titik temu tentang luasan kawasan hutan khususnya Provinsi Riau, Kepulauan Riau dan Provinsi Kalimantan Tengah.
Proses penentuan kawasan hutan yang ada hanya memenuhi keberlakuan secara yuridikal saja tetapi mengabaikan keberlakuan faktual dan keberlakuan moral, sedangkan untuk mencapai adanya pengakuan hukum dalam Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan juga padu serasi dan penunjukan kawasan hutan tidak dapat dilepaskan dari keberlakuan penentuan kawasan hutan secara faktual, yuridikal dan sosiologikal. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap upaya penegakan hukum kehutanan, baik itu melalui penegakan hukum pidana, hukum administrasi/tata usaha negara. Agar kawasan hutan yang ada saat ini harus menuju kepada keberlakuan hukum yang mencakup:
Keberlakuan faktual, yang disebut juga keberlakukan sosial atau keberlakukan sosiologikal atau keberlakuan empirikal.
Keberlakuan yuridikal, yang disebut juga keberlakukan formal atau keberlakuaan normatif;
Keberlakuan moral, yang disebut juga keberlakuan filosofikal atau keberlakuan evaluatif atau keberlakuan materiil atau keberlakuan substansial.
Keberlakuan faktual, yaitu kaidah hukum dikatakan memiliki keberlakuan faktual, jika kaidah itu dalam kenyataan sungguh-sungguh di dipatuhi oleh para warga masyarakat dan oleh para pejabat yang berwenang sungguh-sungguh diterapkan dan ditegakkan. Dengan demikian, kaidah hukum tersebut dikatakan efektif. Sebab, berhasil mempengaruhi perilaku para warga dan pejabat masyarakat. Kenyataan tentang adanya keberlakuan faktual ini dapat diteliti secara empirikal oleh Sosiologi Hukum, dengan menggunakan metode-metode yang lazim dalam ilmu-ilmu sosial. Dalam perspektif Sosiologi Hukum, maka hukum itu tampil sebagai ”das Sein-Sollen”, yakni kenyataan sosiologikal (perilaku sosial yang sungguh-sungguh terjadi dalam kenyataan masyarakat riil) yang mengacu keharusan normatif (kaidah).
Keberlakuan Yuridikal; kaidah hukum memiliki keberlakuan yuridikal, jika kaidah itu dibentuk sesuai dengan aturan prosedur yang berlaku oleh pihak (badan, pejabat) yang berwenang, dan isinya secara substansial tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum lainnya (terutama yang kedudukannya lebih tinggi). Artinya, jika kaidah hukum itu dapat ditempatkan atau mempunyai tempat di dalam keseluruhan sistem hukum yang berlaku. Aspek keberlakuan ini terutama menjadi obyek studi ilmu hukum, yang disebut juga ilmu hukum dogmatik atau dogmatika hukum atau ilmu hukum normatif atau ilmu hukum praktikal. Dalam perspektif ilmu hukum, maka hukum itu tampil sebagai ”das-sollen-sein” yakni kaidah atau norma das-sollen yang berakar dan timbul dari dalam dan terarah balik pada (artinya: ditujukan untuk mengatur) kenyataan sosiologikal (das-Sein). Oleh karena itu, aspek keberlakuan faktual dan keberlakuan moral dalam perspektif ilmu hukum tidak diabaikan, mengingat pada analisis terakhir, ilmu hukum itu terarah untuk menyajikan alternatif penyelesaian terhadap masalah hukum konkret.
Keberlakuan moral, kaidah hukum memiliki keberlakuan moral jika isinya secara etik atas dasar pertimbangan akal dapat diterima (dibenarkan); jadi berdasarkan keyakinan moral yang hidup dalam masyarakat tidak bertentangan dengan nilai-nilai fundamental dan martabat manusia, dan dengan demikian memenuhi rasa atau tuntutan keadilan. Aspek keberlakuan ini terutama menjadi obyek telaah filsafat hukum. Dalam perspektif filsafat hukum ini, maka hukum itu tampil sebagai ”das Sollen”.
Kaidah hukum positif dikatakan memiliki kekuatan berlaku atau hukum yang berlaku dan memiliki daya-penegakan, jadi memiliki kekuatan mengikat warga masyarakat dan otoritas publik, jika kaidah hukum itu memiliki keberlakuan faktual, keberlakuan yuridikal dan keberlakuan moral. Kaidah hukum yang hanya memiliki keberlakuaan yuridikal saja, namun kepatuhannya dipaksakan dengan penggunaan aparat kekuasaan negara adalah bukan hukum lagi, melainkan hanya pernyataan kekuasaan belaka. Kaidah hukum yang hanya memiliki keberlakuan faktual saja adalah kaidah moral positif atau adat saja. Kaidah hukum yang memiliki keberlakuan filosofis saja adalah kaidah moral saja.
Seperti telah disinggung sebelumnya, penyelesaian penunjukan kawasan hutan yang secara hukum oleh Pemerintah (Kementerian Kehutanan) masih dipertanyakan keakuratan datanya oleh banyak pihak karena produk penunjukan kawasan hutan seperti di Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sumatera Utara dan dibeberapa provinsi di Indonesia masih terjadi ketidaksinkronan antara Pemerintah Provinsi/kabupaten dengan pemerintah pusat. Keadaann ini tentunya lebih dialami oleh provinsi yang belum ada penunjukan kawasan hutan seperti Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Riau dan Provinsi Kalimantan Tengah akan menjadi lebih kompleks permasalahan yang akan dihadapi Kementerian Kehutanan.
Dari era tahun 1999 sampai saat ini ternyata Pemerintah belum dapat menyelesaikan permasalahan kehutanan, khususnya yang terkait dengan kawasan hutan yang disebabkan oleh ketidakharmonisan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan lainnya. Akibatnya di hampir seluruh wilayah Indonesia terjadi konflik perizinan yang tidak terselesaikan sampai saat ini. Penyelesaian yang diambil hanya saling menyalahkan dan melempar tanggungjawab oleh pemegang kebijakan. Akibatnya perijinan yang telah ada cenderung menjadi bom waktu untuk obyek penderitaan bagi pemebri izin maupun penerima izin, yang tentunya obyek berupa sumber daya hutan akan semakin tertekan.
Upaya penegakan hukum tidak mudah dijalankan dengan mengingat sengketa hukum yang terjadi tidak hanya pada pelanggaran pidana atas kawasan hutan tetapi dapat menjadi sengketa kepemilikan, sengketa administrasi/tata usaha negara dan juga sengketa perdata. Jika penegakan hukum tidak dilakukan secara komprehensip, maka antar Pemerintah dengan masyarakat bisa saling gugat menggugat dan ada risiko Pemerintah Daerah maupun Negara akan digugat oleh perusahaan yang telah mendapatkan izin dengan kerugian yang telah dialaminya. Seperti halnya yang terjadi di Kalimantan Tengah, kesalahan tidak murni kesalahan pengusaha pemegang izin tetapi juga kesalahan pemerintah.
c. Kesimpulan dan Saran
KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:
LoI antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Norwegia tentang Kerja Sama Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi dan Degradasi Hutan.bukanlah perjanjian dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat kedua belah pihak.
LoI tersebut melanggar beberapa peraturan perundang-undangan seperti UUD 1945, UU Penanaman Modal, UU Kehutanan, PP Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, serta PP Penggunaan Kawasan Hutan.
Poin moratorium LoI lebih banyak mengandung kerugian daripada keuntungan yang diperoleh Indonesia. Nilai konstribusi US $ 1 milyar tidak sebanding dengan kerugian yang diderita Indonesia.
Dengan adanya moratorium LoI, maka berpotensi terjadinya sengketa hukum antara pemerintah dengan masyarakat yang disebabkan kebijakan pemerintah itu sendiri.
SARAN
Perlu dilakukan perhitungan untung rugi dari aspek ekonom secara detail terkait pelaksanaan LoI. Jika ternyata LoI mengakibatkan kerugian daripada keuntungan, maka pemerintah perlu melakukan negoisasi ulang atau revisi LoI ke Pemerintah Norwegia dan moratorium diarahkan kepada kawasan hutan lindung dan kawasan hutan konservasi. Semua ketersediaan bahan energi adalah di dalam kawasan hutan karena penunjukan melalui TGHK di masa lalu dan semua lahan yang ada semuanya masuk di dalam kawasan hutan jika berpedoman pada TGHK semata.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, “Perbedaan antara MoU dan Kontrak”, diakses 21 Juli 2010 di http://saepudinonline.wordpress.com/2010/07/04/perbedaan-antara-mou-dengan-kontrak/
Angelsen, Arild, 2009, Realising REDD + : National Strategy and Policy Options, CIFOR: Bogor.
Dawarja, Agustinus, Aksioma Lase, Perjanjian: Pengertian Pokok dan Teknik Perancangannya, diakses tanggal 21 Juli 2010 di http://www.lexregis.com/?menu=legal_article&id_la=1
Departemen Kehutanan, 2009. Eksekutif Data Strategis Kehutanan 2009. Jakarta
Direktorat Bina Rencana Pemanfaatan Hutan Produksi Ditjen BPK-Kementerian Kehutanan, 2009. Data Identifikasi Kawasan Hutan Produksi Yang Tidak Dibebani Ijin di 26 Provinsi Tahun 2010 – 2014. Jakarta.
Direktorat Bina Rencana Pemanfaatan Hutan Produksi Ditjen BPK-Kementerian Kehutanan, 2009. Laporan Perkembangan Pemanfaatan dan Penggunaan Hutan Produksi Triwulan IV (Oktober – Desember 2009). Jakarta.
Direktorat Bina Rencana Pemanfaatan Hutan Produksi Ditjen BPK-Kementerian Kehutanan, 2010. Laporan Perkembangan Pemanfaatan dan Penggunaan Hutan Produksi Triwulan I (Januari – Maret 2010). Jakarta.
Ministry of Environment Norway, “Norway and The Amazon Fund”, dapat diakses di http://www.regjeringen.no/en/dep/md/Selected-topics/climate/the-government-of-norways-international-/norway-amazon-fund.html?id=593978
Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Hutan-Badan Planologi Kehutanan-Dephut, 2008. Penghitungan Deforestasi Indonesia tahun 2008. Jakarta
Bisnis Indonesia, 2 Juli 2010, “Efektifitas Moratorium Lahan Diragukan”.
Media Indonesia, 29 Juni 2010, ” Waspadai Kepentingan Terselubung di Balik Moratorium Oslo”.
Media Indonesia, 14 Juli 2010, “Moratorium Hutan Tetap 2 Tahun”
Koran Jakarta, 1 Juni 2010, “Waspadai Motif Hibah Norwegia”.
Sadino, Problematika Penegakan Hukum Pidana Pada Pengelolaan Hutan di Indonesia, Biro Konsultasi Hukum dan Kebijakan Kehutanan, Jakarta, 2010.
Oleh : Dr. Sadino, SH.,MH. (Direktur Eksekutif Natural Resources Law&Business Institute) Bagian Kedua-Selesai
Artikel Terkait Lainnya
JAKARTA – Manajer Program Hukum dan Masyarakat Epistema Institute, Yance Arizona mengutarakan, eksistensi masyarakat adat sangat perlu diakui negara. Bahkan, tak cukup hanya pengakuan. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 dilapanagn faktanya masih banyak terjadi pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat. Yance menyatakan, kalau sebelumnya hutan adat adalah hutan negara, setelah putusan MK 35/2012, hutan adat adalah […]
Advertisements Medan – Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan proses eksekusi lahan sawit milik pengusaha DL Sitorus seluas 47 ribu ha di Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara, sudah selesai. Kejaksaan Agung sudah menyerahkan lahan tersebut kepada Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. “Perkara DL Sitorus menyangkut barang bukti seluas 47 ribu ha sudah diserahkan secara […]
KOTA KINABALU – Menteri Sains, Teknologi dan Inovasi, Datuk Ewon Ebin mengatakan, salah satu dari tiga proyek yang memanfaatkan minyak sawit atau biorefinery di Sabah dan Sarawak, telah disetujui oleh komite Bioeconomy Transformation Programme (BTP). Genting Plantations Berhad bakal berkolaborasi dengan Elevance Renewable Sciences, sebuah perusahaan kimia asal Amerika Serikat, untuk membangun biorefinery. Seperti tulis […]
Advertisements Amerika Serikat – Merujuk laporan Lembaga Swadaya Masyarakat Lingkungan dunia, Forest Heroes, menuding perusahaan sawit PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) bertaggung jawab terhadap kerusakan hutan tropis. Sebelumnya PT Astra Agro Lestari Tbk telah berjanji tidak bakal membangun perkebunan kelapa sawit di hutan tropis, tetapi Forest Heroes menganggap janji PT Astra Agro […]
HERSHEY – Perusahaan Hershey, April 2015 melaporkan hasil penggunaan bahan baku dari sumber minyak sawit berkelanjutan, yang didukung lewat kerjasama strategis dengan The Forest Trust (TFT). Tercatat Harshey, telah menggunakan minyak sawit berkelanjutan sebanyak 94% dari semua pabrik yang menggunakan minyak sawit secara global. Kabarya Harshey, sedang melakukan pemetaan rantai pasok hingga ke perkebunan, yang […]